Living Alone: Menavigasi Kesendirian dalam Kemandirian

Sudah 17 tahun lamanya saya menjadi seorang perantau, jauh dari tempat asal saya di Gresik. Perjalanan merantau ini menjadi bagian dari titik-titik signifikan dalam hidup saya, seperti ketika saya berkesempatan untuk berkuliah di Depok, kemudian melanjutkan magister ke Australia, dan akhirnya bekerja di Jakarta. Dengan begitu lamanya saya tinggal sendiri, salah satu pertanyaan yang paling saya sering dengar adalah, “memang tidak terasa kesepian?”.
Pastinya terasa, dong. Saya yang sebelumnya sudah terbiasa tinggal di rumah dan menghabiskan waktu bersama keluarga, tentunya kaget karena tiba-tiba harus melakukan semua sendiri. Perjalanan merantau memang dihiasi dengan berbagai rasa takut, kelelahan, dan kekhawatiran, tapi juga membawa banyak sekali pelajaran yang tidak akan saya temui jika tidak melalui pengalaman ini. Salah satunya adalah untuk menyadari bahwa rasa sepi itu hadir berdampingan dengan kemandirian, dan kita tidak perlu menjadikan rasa sepi sebagai musuh.
Dalam perantauan saya yang paling jauh ke Canberra, Australia, saya memilih untuk tinggal di asrama mahasiswa. Pada saat itu saya juga berkesempatan untuk menjadi Senior Resident (SR). SR ini semacam Pak RT yang diberi kepercayaan untuk mengawasi hunian mahasiswa di 2 blok yang berisikan kurang lebih 10 orang dari berbagai negara. Saya dilatih untuk mengamati kebutuhan, wellbeing, hingga persiapan menghadapi situasi gawat darurat yang mungkin dihadapi oleh sesama mahasiswa. Selama menjadi SR, saya sangat mengasah kemampuan bahasa asing dan komunikasi interkultural saya di sini; skill yang sangat berguna di kehidupan profesional, apalagi jika bekerja di perusahaan multinasional. Tapi, pelajaran paling penting yang saya dapatkan di sini adalah bahwa ternyata saya tidak sendirian. Ada juga banyak orang yang juga sedang jauh dari keluarganya demi mengejar mimpi-mimpi mereka. Karena kami sama-sama berjuang, hal yang bisa saya kontribusikan adalah untuk saling merawat satu sama lain.
Setelah menamatkan pendidikan sarjana dan magister, saya akhirnya akan melanjutkan perjalanan saya ke Jakarta untuk bekerja. Selama perantauan, saya mulai memahami preferensi diri sendiri, salah satunya bahwa saya adalah orang yang sangat menghargai dan membutuhkan ruang pribadi. Saya tidak terlalu menyukai tinggal bersama orang lain di satu ruang yang sama karena perbedaan dalam gaya hidup dan rutinitas harian tidak selalu kompatibel dengan preferensi saya, berujung mengganggu pikiran yang sudah diramaikan oleh aspek hidup lainnya, seperti pekerjaan. Tapi, kekhawatiran akan rasa sepi ketika tinggal sendiri itu tetap ada.
Akhirnya, saya memilih untuk selalu tinggal dalam shared housing seperti kost atau asrama mahasiswa untuk mengatasi dua kebutuhan tersebut (plus, lebih ramah di kantong daripada harus sewa rumah atau apartemen setiap pindah). Oleh karena itu, ketika di Jakarta saya memilih untuk mencoba tinggal di co-living, tepatnya dari Cove. Pilihan ini saya ambil berkaca dari waktu saya selama menjadi SR. Saya melihat bagaimana adanya semacam penanggung jawab di suatu komunitas sangat membantu kualitas hidup perantauan, jadi adanya housekeeper yang disediakan di hunian-hunian co-living bisa mengangkat sedikit beban harian yang sudah cukup diramaikan oleh deadline pekerjaan.
Selain itu, hunian co-living umumnya menawarkan berbagai aktivitas komunitas yang bisa mempertemukan kita dengan sesama perantau lainnya. Di Cove, aktivitas komunitas ini dihadirkan melalui kegiatan olahraga atau gaya hidup lainnya, salah satunya kelas baking yang sempat saya ikuti pada bulan Mei lalu. Kegiatan ini bisa menjadi alternatif ketika saya mulai merasa bosan, sekaligus bisa mendapat kenalan baru dengan sesama penghuni Cove lainnya, yang mungkin merasakan hal yang sama dengan saya.
Meskipun saya sudah menemukan banyak teman baru selama tinggal sendiri, saya masih sering merasa rindu dengan keluarga saya di Gresik. Saya bisa bilang saya adalah seorang family man, jadi meninggalkan mereka untuk merantau merupakan hal yang sangat berat, bahkan hingga hari ini. Hal yang paling membantu saya menghadapi hal ini adalah komunikasi secara virtual. Terima kasih Tuhan atas perkembangan teknologi, saya tetap bisa melihat wajah keluarga saya melalui video call ketika bertukar pesan tertulis mulai terasa tidak cukup untuk mengobati rasa kangen. Ternyata tidak seburuk itu kok untuk terkoneksi secara virtual, justru memotivasi saya untuk bisa bekerja lebih keras agar bisa pulang kampung, atau bahkan mengajak keluarga saya mengelilingi Jakarta.
Sayangnya, tetap ada selalu masa di mana saya merasa sepi tapi tidak bisa menghubungi keluarga atau teman, dan juga sedang tidak ada acara-acara komunitas dari tempat saya tinggal. Ketika saya sedang merasa kesepian dan memang sedang sendirian, saya sering beralih ke berolahraga di gym. Tidak hanya jadi lebih sehat, saya juga tetap bisa keluar dari kamar dan bertemu orang lain selama perjalanan maupun ketika berada di gym. Jadi, dari sini saya menyadari bahwa punya hobi itu sangat penting, dan ini berlaku tidak hanya untuk mereka yang merantau. Tidak harus olahraga, tapi ketika kita punya kegiatan apapun yang kita gemari, kita bisa menikmati suatu kegiatan tanpa harus bergantung dengan kehadiran orang lain dan justru ‘menemani’ diri sendiri.
Cara yang lebih sederhana bagi saya untuk bisa menghabiskan waktu dengan diri sendiri adalah untuk menikmati Jakarta. Meskipun kadang bising dan penuh polusi, kota ini ternyata menawarkan banyak sekali hal untuk saya jelajahi. Saya sering berjalan kaki di sekitar tempat saya tinggal, mengunjungi kedai kopi atau resto baru yang tampaknya tiap minggu terus bermunculan. Ketika bucket list saya sudah habis, saya akan menikmati pemandangan Jakarta sekadar dari pedestrian maupun JPO, kemudian mengambil beberapa foto. Dari hasil tangkapan gambar saya, saya menyadari bahwa meski penuh kesibukan dan tekanan, kota ini masih memiliki banyak cantik di sudutnya. Ternyata, ada beragam hal yang bisa saya syukuri selama merantau.
Tinggal sendiri yang pada awalnya menjadi sebuah ketakutan tersendiri, ternyata berhasil saya jalani selama 17 tahun lamanya. Jika dibandingkan dengan rasa beratnya, ternyata rasa rewarding-nya juga sama besarnya! Kalau kamu salah satu orang yang lagi mempertimbangkan untuk tinggal sendiri, do it! Saya menjamin 100 persen bahwa perjalananya tidak akan selalu indah, tapi bukan berarti tidak akan pernah indah. Dengan tinggal sendiri, saya belajar mengenali diri sendiri dan lebih menghargai kehadiran orang lain, dan utamanya kehadiran diri saya, untuk saya sendiri.
Ditulis oleh Gilang Hernanda
Marketing Professional & Cove Tenant